Gempa-Tsunami Sulteng: Warga Tak Menyadari Sentra Gempa Justru Di Daerah Mereka Mengungsi


 13 JUNI 2012: Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief melakukan mitigasi tragedi di depan jajaran Pemda Sulawesi Tengah (Sulteng), BPPD, tokoh masyarakat setempat serta para peneliti dari Universitas Tadulako ihwal potensi kegempaan dan tsunami di tempat Sulteng.

Di moderatori DR.Boediarto Ontowirjo, Pakar Kebumian DR.Danny Hilman dan Pakar Tsunami DR.Hamzah Latief memaparkan ihwal sesar/patahan Palu-Koro dan simulasi tsunami.

Dari diskusi, beberapa hal penting menjadi catatan. Pertama, Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, tercatat sebagai tempat rawan gempa lantaran mempunyai kegiatan tektonik tertinggi di Indonesia.

Itu terjadi lantaran di kota Palu terdapat patahan kerak bumi (sesar) berdimensi cukup besar. Dikenal dengan nama sesar Palu-Koro. Memanjang mulai dari Selat Makassar hingga pantai utara Teluk Bone. Panjang patahan sekitar 250 kilometer.

Di Kota Palu, sesar melintas dari Teluk Palu masuk ke wilayah daratan. Memotong jantung kota hingga ke Sungai Lariang di Lembah Pipikoro, Donggala (arah selatan Palu).

Sesar Palu-Koro merupakan pertemuan lempeng tektonik Pasifik,Euro-Asia dan Indo-Australia. Sesar itu terus bergerak satu sama lain. Memiliki sifat pergeseran strike slip mendatar sinistral (pergeseran ke arah kanan). Kecepatan geser sekitar 2-3.5 mm hingga dengan 14-17 mm/tahun.

Ketika itu, catatan kegempaan BMKG Palu. Hampir setiap menit Palu dan Donggala diguncang gempa. Setiap hari tercatat getaran hingga 20 kali dengan skala 1 – 3 Skala Richter.

Kedua, Patahan Palu-Koro memisahkan dua mandala yang berbeda corak strukturnya. Mandala Barat retak-retak. Mandala Timur cenderung melipat.

Pada gambaran Ikonos dan data topografi IFSAR resolusi 5 meter, lipatan ini terlihat sebagai punggungan-punggungan. Membentuk busur (curvilinear) ke arah tenggara Patahan Palu-Koro. Bersambung dengan Patahan Malil-Kendari dan Patahan Matano.

Kedua patahan yaitu patahan mendatar sinistral. Diduga mulai terbentuk dari sebelah timur dan berkembang kebarat bersatu dengan Patahan Palu-Koro.

Pola retakan yang terdapat di Mandala Barat sangat mungkin terjadi akhir tekanan berpasangan yang ditimbulkan pergerakan sinistral Patahan Palu-Koro di Utara dan Patahan Pasternoster di Selatan.

Pola melipat be-rasosiasi dengan sesar-sesar naik yang berarah utara-selatan. Pencerminan morfologi dari lipatan ini terlihat sebagai punggungan-punggungan dan lembah-lembah. Danau Poso ditafsirkan sebagai espresi morfologi lipatan dan patahan dalam ukuran yang relatif besar.

Ketiga, di antara Patahan Matano dan Malili-Kendari terdapat suatu bentuk morfologi yang mencerminkan pelipatan yang kuat. Ditafsirkan sebagai lipatan seret (dragfold) yang terbentuk di antara dua medan kompresi.

Bukti ini membawa kepada kesimpulan pergerakan mendatar sinistral (strike slip) patahan Malili-Kendari dan Patahan Matano. Pergerakan tegak diketahui pula terjadi di beberapa tempat yang disebabkan pembelokan pada arah bidang patahan sehingga menimbulkan gaya tarikan. Terban sanggup terjadi dan menghasilkan pembentukan lembah yang lebar menyerupai Lembah Palu.

Keempat, berdasarkan Data BMKG dan hasil Penelitian Kebumian dan Mitigasi Bencana Alam (PP MBA) pada Lembaga Penelitian Universitas Tadulako (Untad) Palu, tercatat beberapa gempa besar dalam 100 tahun terakhir.

1 Desember 1927: Gempa berkekuatan 6.5 Skala Richter (SR) jam 12:37 Intensitas VIII-IX MMI. Gempa tektonik Watusampo berpusat di teluk Palu yang sangat berpengaruh menjadikan kerusakan ratusan rumah penduduk, kantor-kantor pemerintah dan bangunan sosial di Kota Palu, Kota Donggala dan Kota Kecamatan Biromaru.

Data BMG Palu menyebutkan, 14 orang meninggal serta 50 lainnya luka-luka.Terjadi gelombang pasang Tsunami setinggi 15 meter di Teluk Palu. Tangga Dermaga Talise (di pantai Teluk Palu) amblas ditelan ombak. Dasar bahari di sekitar dermaga turun hingga 12 meter. Gempa dirasakan hingga di penggalan tengah Sulawesi yang jaraknya sekitar 230 km.

30 Januari 1930: Terjadi Gempa yang mengakibatkan Tsunami di Pantai Barat Kabupaten Donggala selama 2 menit. Setinggi lebih dari 2 meter.

20 Mei 1938: Gempa berkekuatan 7.6 SR dan Intensitas VIII-IX MMI menggoyang seluruh Pulau Sulawesi dan sebagian Kalimantan. Memunculkan tsunami di Teluk Tomini. 50 orang tewas dan 50 orang luka-luka

14 Agustus 1968: Gempa berkekuatan 6,0 SR yang berpusat di Teluk Tambu, Kecamatan Balaesang Donggala (100 km dari Kota Palu). Intensitas VII-VIIIMMI. Gempa dengan kedalaman 23 kilometer ini memunculkan tsunami lebih lima meter di wilayah pantai barat Kabupaten Donggala. 200 orang tewas 790 rumah rusak. Menenggelamkan hampir seluruh isi desa di pesisir pantai barat Donggala.

Gempa yang dikenal dengan Gempa Bumi Mapaga itu menimbulkan tsunami dengan ketinggian air 8-10 meter. Sebelum terjadi tsunami, air bahari di sekitarnya surut puluhan meter. Saat air bahari surut, ikan-ikan pun bergeleparan di atas pasir.

Warga nelayan Tambu yang tak mengerti insiden itu tanda ancaman tsunami, justru berbondong-bondong ke pantai, memungut ikan-ikan. Pada dikala itulah tiba-tiba gulungan air bahari datang. Menenggelamkan semua yang ada di pinggiran pantai. Termasuk ratusan warga. Para saksi mata menyebutkan, dikala terjadi tsunami, pohon-pohon kelapa di pesisir pantai, hanya kelihatan pucuknya, lantaran tertutup air laut.

1 Januari 1996: Gempa berkekuatan 7.4 SR dan Intensitas VI MMI. Gempa berpusat di Selat Makassar menjadikan gelombang tsunami di bibir pantai barat Kabupaten Donggala dan Kabupaten Toli-Toli. 9 orang tewas

Sejumlah insiden gempa bumi dahsyat lainnya dalam siklus antara tahun 1904-2004, berturut-turut pernah melanda tempat itu.

Gempa Sausu (1994): Berpusat di Sausu, Donggala. Menelan korban sekitar 30 orang tewas, dan ribuan rumah penduduk hancur. Peristiwa alam yang dahsyat itu tidak pernah hilang dari ingatan masyarakat. Apalagi, sebagian saksi insiden mengerikan itu masih hidup.

Gempa Tonggolobibi (1995), Gempa Donggala (1998) yang menimbulkan sejumlah kerusakan dan puluhan korban jiwa.

Senin 24 Januari 2005 pukul 04:11 Wita (dini hari): Gempa berkekuatan 6.2 SR berpusat 16 kilometer arah tenggara Kota Palu menimbulkan kepanikan warga akhir stress berat tsunami. Menghancurkan 100 rumah, 1 orang tewas 4 orang luka-luka.

Warga Palu dan Donggala panik.Hampir semua warga di wilayah berpenduduk sekitar 500.000 jiwa itu lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Warga yang sedang tertidur lelap, berloncatan dari tempat tidur. Berhamburan keluar rumah. Sebagian besar menentukan mengungsi ke Pegunungan Gawalise, Ngata Baru, Bukit Jabal Nur, Sigi Biromaru, Bora, Palolo, dan Bandar Udara Mutiara Palu. Warga sama sekali tak menyadari, sentra gempa justru di tempat mereka mengungsi.

Senin 17 November 2008: Gempa tektonik berkekuatan 7,7 SR. Berpusat di Laut Sulawesi, tempat Buol pada Senin dini hari mengakibatkan 4 orang penduduk tewas.

Kelima, dari diskusi patahan Palu-Koro menghasilkan rekomendasi untuk dilanjutkan kerjasama Penelitian Sesar Palu-Koro antara Universitas Tadulako, jadwal studi S-2 GREAT ITB, Geotek LIPI, BPBD dan BMKG Palu dan pihak-pihak terkait.

Kearifan lokal ihwal insiden Tsunami disekitar teluk Palu dan propinsi Sulawesi Tengah dikenal dengan istilah “air berdiri”. [psid]

Sumber http://www.garuda-kita.com/

Comments