Kelompok Penolak Ustadz Abdul Somad, Sara Teriak Sara?


Abdul Somad, Tanah Melayu: SARA Berteriak SARA? 
Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM*

Meski ditolak di beberapa kota di Jawa untuk melaksanakan ceramah, Ustadz Abdul Somad disambut meriah oleh umat Islam contohnya di Sorong, Papua dan Sulawesi. Di kota-kota lain Sumatra dan DKI Jakarta, Banten, Kalimantan, dan wilayah lainnya, ceramah UAS pun disambut penuh antusias.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka, apakah adanya penolakan itu merupakan fenomena terbelahnya masyarakat Islam yang sedang menyongsong Pemilihan Presiden 2019? Nah, kalau betul maka impian persatuan bangsa yang telah dicederai oleh politik: Sara berteriak Sara!

Benar, apa yang dikatakan dosen UIN Jakarta, DR Bahtiar Effendy, yang merasa repot bila nanti ada pembalasan terkait adanya agresi penolakan ceramah UAS itu. Ini contohnya bila nanti akan muncul juga agresi penolakan terhadap  ustaz-ustaz dari Jawa bila berceramah di Riau, di luar Jawa, atau tanah Melayu lainnya. Bila ini hingga terjadi, maka ini akan menjadi sebuah tanda positif atas kemunduran yang luar biasa dalam konteks integrasi nasional.

Tapi, soal kemunduran dalam konteks integrasi bangsa, itu pun bekerjsama sudah dipertunjukkan dalam banyak kasus lainnya di Indonesia. Misalnya dalam kasus Ambon, Kupang, Poso, dan Kalimantan yang terjadi beberapa tahun lalu. Di sana pun ada dan tercium aneka macam agresi perekayasa kekeruhan sosial itu. Celakanya, petinggi parpol yang kini tengah sibuk pemilu dan terlihat sangat berkuasa, kok bungkam saja saat melihat itu semua seolah tak peduli.

Dalam kasus UAS misalnya, apabila pihak pemerintah dan pimpinan parpol yang berkuasa bungkam situasinya dipastikan akan kian ruwet. Ini sebab negara seolah tidak hadir dalam memberi penyelesaian yang adil. Dalam titik ini kita lantas punya alasan besar lengan berkuasa untuk curiga ada tangan orang tersembunyi dalam semua ihwal ini.

Khusus untuk UAS, saya merasa asing saat beliau akan ceramah tiba-tiba sekelompok massa bahkan ormas yang melarang dan memintanya untuk berkaca diri. Sebab, apa salahnya dia, kok UAS yang harus berkaca? Ingat hak dan kebebasan seorang warganegara berekspresi itu dilindungi negara.

Alhasil, terang sekali dalam banyak hal UAS  tidak bersalah. Dan di sini tidak terang juga dan bukan alasan yang masuk nalar untuk melarang orang berceramah. Sebab, sebagai konsekuensi kalau ada yang berkenaan melarang orang atas soal ceramah, maka banyak orang juga yang harus ditolak berceramah di beberapa tempat di Indonesia. Dan itu terang tidak berlaku sepihak dan tidak sanggup diperkecualikan pada satu seorang menyerupai UAS sendirian?

Di sinilah saya melihat juga adanya fenomena gres berupa bahaya perpecahan bangsa ini. Kini terlihat seperti Indonesia itu dimiliki sekelompok orang, yang dicirikan mereka dengan menolak UAS. Dan saya mendengar sendiri banyak cara penolakan yang tidak adil menyerupai itu. Selain itu, mahfumlah, janganlah terlalu membesar-besarkan jasa pemimpin politik dengan melupakan peranan sarjana bahasa, penyair, penceramah, hingga budayawan.

Kalau dikaitkan dengan soal isu Wahabi, Hizbut Tahrir, hingga dukungan negara Arab Saudi untuk Indonesia, saya kira layaknya pepatah Melayu itu sebagai sebuah hal yang jauh panggang dari api. Apalagi, dalam tahun 1970-an dan 1980-an misalnya, kita banyak menerima dukungan keuangan dari Arab Saudi. Banyak masjid dan pesantren yang telah berdiri atas dukungan Arab Saudi bukan?

Nah, mengapa kini kita gres bercuap-cuap menafikan dukungan itu? Bahkan, kini ada legalisasi dari seorang rekan bahwa pihak yang sedang membangun hunian sementara di Lombok akhir gempa itu sebagian berasal dari dari para 'muhsinin' Arab.

Untuk itulah adanya isu semua itu, saya merasa menyerupai ada rekayasa untuk tetapkan tali persaudaraan bangsa Indonesia yang Muslim dengan bangsa Arab. Padahal negeri itu dari dahulu sigap membantu Indonesia kalau terjadi krisis. Bahkan, Arab Saudi ialah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Alhasil, adanya sosok UAS yang berasal dari Riau ialah sebuah anugerah Allah kepada negara ini masa sekarang. Apalagi wilayah dari mana beliau berasal beserta seluruh kepulauan Melayu di sekelilingnya pun sejak dahulu kala telah memperlihatkan banyak sumbangan besar bagi terwujudnya integrasi bangsa Indonesia.

Ingat, selain kekayaan alam dan wilayah ada sumbangan Riau dan tanah Melayu yang tak terkira nilainya. Hal itu ialah bahasa Indonesia. Dan berkat bahasa Indonesia itulah tercipta suatu alat ampuh yang kemudian menjadi salah satu faktor penting pemersatu bangsa Indonesia. Asal usulnya bahasa nasional kita ini tak sanggup dibantah berasal dari tanah itu. Selain itu, harus diingat pula tanpa bahasa identas suatu bangsa tidak wujud.

Ingatan dan catatan kazanah sejarah bangsa dan bahasa Indonesia yang dimaksud tersebut pun telah ada dalam Sumpah Pemuda 1928. Bahasa identas bangsa Indonesia ialah bahasa Melayu Riau yang tata bahasanya telah dikemas apik oleh aneka macam pujangga, menyerupai Raja Ali Haji.

Ingat pula, antara tahun 1850 hingga 1915, terdapat tujuh kerajaan dan banyak wilayah Indonesia di Sumatra, Jawa, Sulawesi, NTT dan lain-lain merupakan kerajaan suatu wilayah merdeka. Hanya dengan cara yang culas pemerintah Hindia Belanda memasukkan wilayah-wilayah tersebut ke dalam aturan administratifnya. Sekali lagi, yang mempersatukan bangsa Indonesia ialah para perjaka dengan Sumpah Pemuda 1928. Di situ bangsa dipersatukan dengan menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia.

Itulah bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa Melayu Riau yang tata bahasanya dibangun oleh Raja Ali Haji. Inilah model bahasa Indonesia yang dikehendaki M Yamin, Sanusi Pane, Tabrani, dan para pimpinan Kongres Pemuda 1926 dan 1928 lainnya. Inilah model bahasa yang digunakan Abdul Muis dalam menuliskan ekspresinya dalam roman "Salah Asuhan".

Alhasil, jangan coba-coba menafikkan sumbangan Riau dan tanah Melayu --dan seorang putera tanah Melayu-nya yang berjulukan Abdul Somad-- dalam sejarah agung bangsa Indonesia.

Dan mudah-mudahan Tuhan menimpakan pembelajaran yang sanggup menciptakan kita semua insyaf dari kejahilan.

[rol]

*) Penyair dan Guru Besar Falsafah Kebudayaan Islam Universitas Paramadina Jakarta
Sumber http://www.garuda-kita.com/

Comments